AGAMA SEBAGAI INSTITUSI DALAM DILEMA
PENDAHULUAN
Dalam dilemma
orang dihadapkan dalam satu pilihan dari dua alternative yang berlawanan (
antara ya dan tidak). Celakanya memilih ya juga salah, memilih tidak juga tidak
benar. Pada saat agama itu menjadi institusi dan selama masih dekat dengan saat
pendiriannya, agama itu belum mengalami kesulitan yang berarti, bahkan
sebaliknya mungkin sekali hanya mengalami zaman situasi cultural dan sosialnya
jauh berbeda dengan situasi tempat berdirinya, maka agama itu akan menghadapi
problem baru yang sulit dipecahkan.
Masyarakat
dari zaman ke zaman berjalan menuju ke bentuk- bentuk kehidupan yang lebih
sempurna melalui trend berpola yang disebut proses sosial ( sosial proses),
dengan laju kecepatan yang dapat berbeda- beda untuk kurun zaman yang satu dan
yang lain. Dalam proses sosial tersebut terjadilah fenomena baru yang tidak
dapat ditahan yaitu perubahan sosial ( social change). Ada satu hal yang
menonjol dari keseluruhan proses perubahan itu, yaitu bahwa agama tidak atau
belum mengalami perubahan, agama dengan situasi yang baru itu tinggal tetap
sama seperti pada titik waktu sebelumnya. Keadaan agama yang tetap sama dalam
situasi yang telah berubah inilah yang emnimbulkan masalah yang sulit yang
disebut dilemma. Kesulitan ini dialami khususnya oelh umat beragama itu sendiri
( dari unsure pimpinan dan bukan pimpinan) dan baru kemudian menimpa juga para
ilmuwan ( ahli filsafat, teologi, sosiologi, dll), dalam mencari pemecahannya.
A. DAMPAK DILEMMA RELIGIUS
Agama
merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mengalami kelambanan sosial (social
lag). Kelambanan dalam ukuran yang besar yang menimbulkan dilemma contohnya
ialah yang dihadapi agama Kristen dalam abad ke- 16 dan ke- 20 menjelang konsili
Vatikan II. Contoh dari dunia ketiga khususnya bagi agama islam di Iran,
masuknya pengetahuan dan teknologi modern menimbulkan perubahan sosial yang
mendalam, terutama kegoncangan susunan nilai dan budaya asli di Iran,
konfrontasi yang tajam antara kebudayaan asli dan kebudayaan asing yang
bercorak Barat. Islam dihadapkan dengan pilihan dilemmatik antara mempertahanan
karisma islam yang asli ( otentik) atau berkompromi dengan tuntutan zaman
teknologi modern.
Dampak dilemma yang dihadapi setiap agama yang telah
menjelma dalam institusi:
1.
Jika agama mau
mempertahankan kemurnian ( otentik) pendirinya sepanjang zaman dari masa ke
masa dalam pagar- pagar kepranataan yang tak tertembus oleh pengaruh pemikiran
baru, maka karisma itu tak akan tersentuh dan tak akan berkembang.
Agama itu
sendiri akan kehilangan daya tariknya karena tidak sanggup menyajikan
kekayaannya kepada manusia menurut selera zamannya. Di sisi lain karisma itu
akan mengalami erosi dan kehilangan pamornya jika agama membiarkan berkembang
bebas tanpa memberikan pembatasan dalam peraturan yang diikuti dengan
pengawasan yang cermat.
2.
Agama dihadapkan pula
dengan pilihan yang sulit berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kepemimpinan (
kepemimpinan karismatis atau rasional). Bila agama membentuk kepemimpinan yang
karismatis, pilihan itu akan mendatangkan kesulitan yang tidak kecil, ada
keutungan dan juga kerugian. Keuntungannya antara lain agama dapat dikembangkan
dengan kepesatan yang luar biasa berkat “ karisma” yang dimiliki pemimpin,
tetapi dibalik itu kekuasaan seorang pemimpin yang karismatis dapat berubah
menjadi kekuasaan yang sewenang- wenang, diktatorial dan mutlak. Jika memilih
bentuk pemimpin yang rasional, ia tidak bebas pula dari kesulitan yang tidak
kalah beratnya. Keuntungannya antara lain kemungkinan akan tindakan sewenang-
wenang dari pemimpn agama sudah ditutup dengan peraturan rasional yang dibuat
oleh wakil- wakil golongan yang ada dalam agama itu. Namun kerugiannya bahwa
agama yang berbentuk yuridis formal akan menjurus ( kenyataannya) ke rutinitas,
birokrasi dan stagnasi.
Jalan
keluarnya adalah dengan mengambil jalan tengah, bentuk kepemimpinan merupakan
suatu gabungan dari kepemimpinan karismatik dan rasional. Dalam kenyataannya
pemimpin agama lantas merupakan kombinasi dari kekuasaan agama dan kekuasaan
masyarakat, dan bentuk kepemimpinan yang terjadi bahwa kekuasaan agama sama
dengan kekuasaan Negara. Akibatnya ialah nilai religius yang khas milik agama
tertentu menjadi campur dengan nilai cultural masyarakat setempat. Bahwa suatu
agama identik dengan kebudayaan suatu bangsa menimbulkan akibat merugikan bagi
agama itu sendiri, antara lain:
·
Kredibilitas agama tersebut
cenderung untuk diragukan oleh kalangan pemeluk agama yang terdidik (
intelektual). Ciri khas agama adalah “ penyerahan diri secara rela dan spontan”
kepada Tuhan menjadi lenyap karena orang masuk agama dengan sendiri atau
paksaan lingkungan sekitar.
·
Dengan adanya ajaran (
ideologi) agama yang bercampur dengan system budaya masyarakat setempat, jiwa
konservatisme asli ( setempat) bertumbuh dan bertambah kokoh, karena mendapat
pupuk yang baik dari konservatisme agama yang bersangkutan.
·
Kehidupan agama yang
dikendalikan oleh pemimpin yang religius bersama dengan pemimpin sekuler (
profan) mengundang munculnya intoleransi ( tidak tenggang rasa) terhadap
golongan lain. Persekutuan pemimpin agama dengan pemimpin masyarakat
mendatangkan sikap- sikap intoleransi dan membuat agama itu sendiri tak
berfungsi baik ( disfungsional), dan situasi ini menimbulkan gerakan anti
agama.
3.
Dilemma lain yang dihadapi
ialah yang berkenaan dengan masalah uniformitas dan pluriformitas. Jika agama
menitikberatkan perkembangannya dalam bentuk kesatuan (uniformitas) yang
absolute, maka hal ini akan menimbulkan dan de fakto. Jika kemungkinan untuk
pluriformitas ( keanekaragaman) penghayatan tidak diizinkan, hal ini akan
menimbulkan banyak kesulitan. Penghayatan agama ialah cara- cara perayaan agama
atau liturgy, jadi tidak bersangkutan dengan ortodoksi tetapi dengan ortopraksi,
tetapi jika pintu untuk penghayatan dalam bentuk aneka ragam dibuka lebar, hal
ini juga menimbulkan masalah yang tidak sedikit. Bertolak dari sudut pandang
kesatuan dan keanekaragaman, setiap agama emmang menghadapi dilemma.
4. Dilemma simbolisasi keagamaan
Agama- agama
berusaha menjelaskan hal- hal yang rohaniah, yang abstrak dan supra- empiris,
dengan lambang- lambang yang diambil dari dunia benda yang konkret mudah
ditangkap oleh pancaindra. Namun penggunaan dunia perlambangan itu sendiri
melibatkan umat beragama dalam kesulitan yang berujung dua. Di satu pihak jika
perkara- perkara rohani itu tidak dapat dibendakan ( dalam lambang- lambang) ,
maka arti dan makna dari hal- hal yang abstrak itu tidak akan dapat ditangkap
oleh otak manusia, tetapi jika diobyektifkan dalam symbol juga menimbulkan
kesulitan. Pikiran dan perasaan manusia dibelokkan kepada benda tiruan yang
dapat meyesatkan dari yang sebenarnya. Maka tidak terlalu menherankan jika
sebagian pemeluk agama institusional meninggalkan imannya dan mencari gantinya
pada lingkungan lain ( aliran kepercayaan) dimana tidak ada ibadat yang
formalitas.
5.
Unsur- unsur keagamaan lain
yang menimbulkan dilemma, misalnya peraturan- peraturan moralistis yang
dikeluarkan berabad- abad yang lalu namun masih berlaku bagi umat yang hidup
dalam zaman modern.
Dari penelusuran tentang luasnya
dan dalamnya permaslahan yang dihadapi semua agama dapat ditarik kesimpulan
bahwa agama sebagai fenomena sosial yang berbentuk institusi mendatangkan bukan
saja berkat tetaoi juga laknat bagi masyarakat, dan usaha untuk menghilangkan
dan sekurang- kurangnya menipiskan laknat itu harus ditempuh melalui rintangan-
rintangan yang dilemmatik.
B. PENGARUH SEKULARISASI
TERHADAP AGAMA
Istilah
sekularisasi mendapat arti yang berbeda- beda sesuai dengan konteks masalah
yang sedang aktual menurut penelitian golongan atau bangsa yang berkepentingan.
Di anatar banyak arti yang berbeda itu terdapat satu aspek yang sama, ialah dua
variable yang saling dipertentangkan, urusan agama atau urusan keduniawian,
atau dengan kata lain yang sacral dengan yang profan. Kata “ sekularisasi”
berasal dari kata Latin “ saeculum” yang berarti “ dunia” yaitu dunia seperti
apa adanya beserta keseluruhan nilai- nilainya yang sering disebut nilai
duniawi. Dari kata dasar “ saeculum” dibentuk kata “ saecularis” atau “
sekuler” yang diberi arti “ serba duniawi” dalam arti yang baik.
Sejak abad yang lalu hingga saat ini terdapat dua macam
sekularisme, yaitu:
a.
Sekularisme ekstrem ialah
pandangan hidup atau ideologi yang mencita- citakan otonomi nilai duniawi lepas
dari campur tangan Tuhan dan pengaruh agama.
b.
Sekularisme moderat ialah
pandangan hidup ( ideologi) yang mencita- citakan otonomi nilai duniawi dengan
mengikutsertakan Tuhan dan agama.
Namun dalam
kenyataannya pegertian sekularisme hampir selalu diambil dalam arti yang
ekstrem atau negatif. Dua jenis sekularisme tersebut dijabarkan dalam usaha
konkret atau gerakan yang disebut sekularisasi. Jika sekularisme adalah suatu
ideologi maka sekularisme adalah suatu gerakan sosial.
Sekularisasi adalah suatu gerakan
( sosial) yang diarahkan kepada terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi
dengan mengikutsertakan agama dan nilai- nilai keagamaan. Gerakan sekuler yang
tidak mengikutsertakan Tuhan dan nilai- nilai keagamaan disebut dengan istilah
sekularisme dalam arti peyoratif ( negatif). Dalam alam pikiran dan praktek
dari manusia sekuler ada pembedaan tegas ( bukan penolakan) antara nilai
duniawi dan nilai supra- duniawi yang asli sejati. Seperti halnya dunia supra-
empiris mempunyai tempat dan otonominya sendiri, demikian pula dunia empiris
mempunyai tempat dan otonominya sendiri.
Kewajaran sekularisasi
Sekularisasi merupakan hal yang
wajar karena berakar atas pertimbangan yang wajar:
Ø Adalah hal yang masuk akal bahwa dalam mengurus hal duniawi
manusia berani memikul tanggung jawab dan tidak melemparkan tanggung jawab itu
kepada instansi lain, karena dunia seisinya diserahkan kepada manusia.
Ø Adalah wajar bahwa nilai-
nilai duniawi berkembang dengan kekuatan sendiri dan tidak perlu berlindung di
bawah nilai- nilai supra- duniawi.
Ø Adalah hal yang sewajarnya apabila Tuhan yang lain dari yang
lain tidak dijadikan “ keranjang sampah” tempat melemparkan tanggung jawab atas
kegagalan yang dibuat manusia sendiri.
Ø Sudah tiba waktunya bahwa
semua agama membersihkan diri dari beban tambahan yang bersifat takhyul dan
mitologis, baik yang membenani ajarannya maupun praktek peribadatannya.
Semua penganut
agama perlu mengadakan “ de-mitologisasi dan desakralisasi” dalam arti yang
baik. Dalam konteks ini sekularisasi memberikan sumbangan yang berharga kepada
agama- agama, yaitu pemurnian hakekat agama dan refungsional yang asli sejati,
namun dilandasi atas sikap yang dewasa. Berdasarkan pengalaman umum baik dari
masa lampau maupun sekarang gerakan sekularisasi yang wajar perlu menghindari
dua ujung yang penuh bahaya, yaitu:
a.
Humanisme ateis,
menghasilkan nilai- nilai semu manusiawi seperti martabat manusia, kebebasan
dan otonominya. Dikatakan semu bahkan palsu karena nilai- nilai tersebut
kehilangan hakekat otentiknya, bisa dilepas dari Sumbernya, yaitu Tuhan yang
transenden.
b.
Spiritualisme irrealis (
kosong) akan membuahkan rasa frustasi dan sikap benci ( bahkan anti) terhadap
apa saja yang bersifat rohani, termasuk agama. Sikap berat sebelah yang hanya
menitikberatkan tercapainya kepuasan rohani, lepas dari kewajiban mengusahakan
kebutuhan duniawi adalah sikap mental yang tiak berpijak atas landasan yang
nyata.
Tanggapan agama terhadap sekularisasi
Tujuan yang
hendak dicapai sekulatisasi pada dasarnya adalah manusia yang otonom
(berdaulat). Sedangkan tujuan agama adalah memanusiakan manusia sebagai pribadi
yang berdaulat. Terdaqpat perbedaan dalam cara bekerja, sekularisasi
menggunakan tenaga empiris semata- mata yang tersedia di dunia ini, agama
mendayagunakan kekuatan supra- empiris yang datang dari dunia lain.
Sikap agama terhadap sekularisasi
secara umum dapat dikatakan agama bersikap mendua, bahwa :
a. Agama bersikap mendukung
Dapat dilihat dari segi ideal ajaran dan maksud pendirinya
yaitu memanusiakan manusia. Agama berusaha menjelaskan ajarannya secara
rasional dengan bantuan filsafat dan ilmu pengetahuan empiris.
b. Agama juga menentang sekularisasi.
Agama bermaksud memajukan umat dengan melepaskan yang lama
tetapi sekaligus agama mau mempertahankan yang lama, memegang teguh model-
model pemikiran lama dan pola- pola tindakan dari masa lampau. Sikap dualistis
ini menjadi penghalang untuk menerima model pemahaman dan pengalaman agama yang
baru.
C. GOYAHNYA KAIDAH KEAGAMAAN
Agama pada umumnya selalu
dipandang sebagai tempat legitimasi, artinya manusia baru merasa puas atas
perbuatannya yang begini atau begitu dibenarkan ( atau disalahkan) oleh agama.
Krisis agama timbul karena dua hal:
1. Proses psikologis
Timbul dalam alam kejiwaan
manusia yang sadar atau di bawah sadar merasa bahwa setiap peraturan dalam
bentuk perumusan hukum bersifat membatasi ( membatasi nilai dan kebebasan).
Nilai yang tidak dibatasi dipandang sebagai nilai yang terbaik dan sekaligus
nilai yang tak terbatas. Dengan jalan pertama manusia menurunkan nilai yang tak
terbatas itu dalam bentuk simbol- simbol ( dalam dunia perlambangan), manusia
masih berada di dunia ilusi, dan belum tinggal di dunia nyata, jadi belum
memiliki yang tak terbatas dan yang terbaik itu secara konkret. Jalan kedua
manusia membuat peraturan hokum, mengatur cara- cara yang dapat dibenarkan
dalam rumus- rumus peraturan.
2. Benih- benih krisis yang
secara potensial ( implisit) terkandung dalam ordo simbolis dan tata hukum
bertumbuh dan berkembang menjadi krisis yang nyata dalam situasi lain, dimana
struktur masyarakat berubah sebagai akibat dari proses sosial. Kaidah- kaidah
susila keagamaan mulai diragukan kebenarannya dan daya lakunya karena semakin
melebarnya jarak antara ordo imaginer dan ordo real, antara tuntutan hokum dan
tidak mungkinnya dilaksanakannya.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa
norma- norma hukum kehilangan kekuatannya apabila infra struktur norma- norma
itu runtuh dan lenyap. Infra struktur itu tak lain adalah subyek hukum beserta
ruang lingkup kebudayaannya. Sementara itu para penganut agama dari waktu ke
waktu menjadi semakin sadar bahwa hokum keagamaan yang ditentukan oleh
kekuasaan sentral, baik yang sifatnya etis maupun administrative, dan yang
semula berlaku absolut, ternyata tidak demikian. Semua ini sekaligus
membuktikan bahwa kewibawaan kepemimpinan agama mengalami krisis.
D. KRISIS KEWIBAWAAN
Krisis
kewibawaan pada umumnya tidak lain merupakan suatu bentuk proses sekularisasi
menuju tercapainya otonomi ( kedaulatan) manusia dengan melawan kekuasaan yang
dipandang tidak adil. Fungsi kekuasaan bersifat komplementer ( melengkapi).
Kata kekuasaan (kewibawaan) dalam bahasa Latin “ auctoritas”, yang berasal dari
kata kerja “ augeo- auxi – “ auctum” yang artinya menambah, melengkapai. Tugas
kekuasaan (auctoritas) pada hakekatnya hanyalah menambah dan melengkapi usaha
orang lain ( anak didik, bawahan) untuk kemudian dapat diberi sendiri sebagai
manusia yang berdaulat ( otonom) yang mampu menentukan pilihannya sendiri.
Proses Awamisasi
Pengertian
awamisasi mempunyai arti dan konotasi negatif sama dengan “ anti klerikal”
sedangkan menurut arti positif ialah usaha kaum awam untuk ikut mengambil
bagian dalam tugas pelayanan agama untuk mana tidak diperlukan pentahbisan
khusus. Dalam bidang kemsyarakatan dan kenegaraan dipakai istilah demokrasi.
Awamisasi dan demokrasi mempunyai titik persamaan terletak pada bahwa awamisasi
maupun demokrasi sebagai faham dan gerakan berasal dari satu kandungan yang sama,
yaitu agama Kristen, dan perbedaannya terletak dalam perkembangan bentuk dan
manifestasinya.
Demokratisasi dalam masyarakat profan
Dapat
dibenarkan kalau dikatakan bahwa demokrasi Barat itu sutau diktatur tersembunyi
dari kelas kaum kaya, demokrasi Timur sebagai diktatur kaum rakyat, dan
demokrasi dunia III hanyalah suatu demokrasi semu. Namun di samping ekses-
ekses negative itu demokrasi dan demokratisasi mengandung nilai- nilai mausiawi
yang terhormat, patut didukung dan dikembangkan, antara lain:
1. Semua model demokrasi beserta
praktek negatifnya tidak bermaksud menghapus eksistensi kekuasaan dari ruang
hidup kemasyarakatan sebagai unsure sosiologis yang penting.
2. Semua usaha pendemokrasian mau
mengontrol kekuasaan, hendak mencegah kewenang- wenangan dari yangberkuasa
untuk melindungi dan mengembangkan martabat manusia beserta hak- hak asasinya.
3. Mau minta pertanggungjawaban
dari pejabat- pejabat kekuasaan sesuai dengan norma- norma yang telah
disepakati bersama demi kepentingan bersama.
Dahulu
tuntutan demokrasi yang muncul dari dalam kelompok kecil intelektual dapat
dibungkam oleh yang berkuasa dan tata hidup masyarakat dapat berjalan seperti
sediakala. Namun konstelasi masyarakat modern yang dihuni oleh menusia- manusia
yang sudah dewasa mental- spiritual dan material menuntut suatu system “
cybernetica” baru, suatu seni pengemudian yang memungkinkan keterlibatan penuh
tetapi teratur rapi dari semua pihak.
Demokratisasi ( awamisasi) dalam kehidupan agama
Dalam agama
yang telah menjadi institusi terdapat struktur kekuasaan yang tidak selalu
menguntungkan bagi tercapainya cita- cita agama pada umumnya, yaitu merasa
dipanggil untuk membebaskan manusia ( penganutnya) dari semua unsur tekanan
yang tidak manusiawi. Meskipun dalam sumber asli ajarannya tidak terdapat
istilah “ pembesar” atau “ penguasa” melainkan istilah “ abdi” atau “ pelayan”
atau istilah “pemuka” umat, karena semua adalah saudara. Walaupun seluruh misi
keagamaan adalah “ diakonia” atau “ pelayanan”, namun dalam sejarah perkembangannya
terasa adanya sikap amat segan untuk mengikuti proses demokratisasi dan lebih
suka mengikuti system pemerintahan absolute. Kenyataan ini bukan hanya terjadi
pada agama Islam, tetapi juga pada agama Kristen yang memang merupakan induk
semang demokrasi.
Bentuk- bentuk reaksi terhadap
kekuasaan agama khususnya dalam Gereja Kristen, yang muncul dalam sejarah,
antara lain sebagai berikut:
1. Sebagian dari umat beragama
menjauhkan diri dari pengaruh/ kuasa agama ( Gereja), seperti dikenal ada
skisma Timur ( abad ke- 11) dan skisma Barat (abad ke- 16) Menjauhkan diri
berarti membebaskan diri dari kekuasaan sentral dan membentuk pusat- pusat
kekuasaan baru sebagai kekuasaan tandingan.
2. Sebagian umat yang menyingkir
dari kehidupan beragama lalu meninggalkan praktek keagamaan disertai rasa
dendam terhadap pimpinan agama ( Gereja) yang sering disebut dengan kata “
antiklerikalisme”, gerakan menuntut supaya kekuasaan Ggereja berada di bawah
control sepenuhnya dan dilaksanakan menurut asas demokrasi.
3. Sebagian umat yang tidak
mengikuti gerakan antiklerikalisme, menuntut supaya tugas- tugas pelayanan
agama yang tidak memerlukan tahbisan “ imamat jabatan” diserahkan kepada kaum
awam, disebut gerakan “ awamisasi”. Motivasi yang mendorongnya bukan karena
kurangnya kepercayaan atau jumlah imam, melainkan atas kesadaran yang dewasa
bahwa kaum awam mempunyai tempatnya tersendiri ( sebagai status awam),
mempunyai hak dan wewenang khusus, dalam pengembangan agama ( gereja) yang
tidak perlu diserahkan kepada klerici. Mereka mau ikut dalam proses pengambilan
keputusan yang bersangkutan dengan pelayanan (diakonia) Gereja, sehingga dapat
ikut bertanggung jawab atas hidup matinya Gereja.
E. JALAN KELUAR
Jalan keluar
disini bukanlah resep eksak sebagai hasil penelitian, namun berupa harapan-
harapan, yaitu:
1. Umat beragama hendaknya
meningkatkan kesadarannya akan nilai- nilai demokrasi ( yang wajar).
Sekularisasi dan demokrasi adalah hal yang wajar, yang perlu diterima baik dan
dihayati secara wajar.
2. Untuk membuktikan bahwa agama
( khususnya Gereja) mempelopori perwujudan cita- cita demokrasi ke dalam dan ke
luar hendaknya struktur pemerintahan agama ( hirarki) memberikan tempat
sewajarnya kepada kaum awam dimana unsur awam mempunyai hak bersuara untuk ikut
menentukan kehidupan agama ( Gereja).
3. Tugas- tugas keagamaan yang
sifatnya tidak memerlukan jabatan imamat khusus hendaknya diserahkan kepada
kaum awam. Perlu ada perubahan dari pola tradisional, maksudnya awam hendaknya
tidak hanya diberi hak suara konsultatif, tetapi suara yang decisif (
definitif). Berarti hak veto tidak saja ada pada tangan gembala umat, tetapi
juga pada tangan awam.
4. Penaggulangan krisis
kewibawaan melalui jalur ilmu,antara lain kesediaan pemimpin agama untuk
mendorong pengadaan penelitian mengenai masalah penggembalaan umat dari
pandangan sosiologis dan menggunakan kesimpulan- kesimpulan yang dihasilkan.
Suatu kejadian
historis yang besar dalam abad ke- 20 ini, khususnya berlangsung dalam Gereja
Katholik. Umat di seluruh dunia merasa bangga dan gembira karena Gereja telah
menanggapi tantangan zaman modern dengan mengadakan konsili Vatikan II ( 1963-
1965). Tujuan utamanya adalah penyegaran dan peremajaan Gereja. Hasilnya
dituangkan dalam dekrit tentang jabatan uskup ( Cristus Domicus), dekrit
tentang Kerasulan Awam ( Apostolicam Ac tuositatem), Konstitusi dogmatika
tentang Gereja ( Lumen Gentium), Konstitusi tentang Gereja dalam dunia modern (
Gaudium et Spes), dll, namun bukan berarti bahwa segala kesulitan kekuasaan
Gereja dan kedaulatan kaum awam telah teratasi. Satu hal yang tampak dan
dirasakan umum ialah bahwa ketegangan antara kekuasaan pusat dan instansi-
instansi lain dalam agama Kristen mulai berkurang.
Posting Komentar
Komentar Anda tidak merubah apapun...!